Pernahkah kalian melihat gambaran planet Mars yang berwarna kemerahan serta tandus? Siapa sangka miliaran tahun yang lalu, Planet Merah ternyata jauh lebih biru dari sekarang.
Pernyataan ini didasarkan bukti yang masih ditemukan di permukaan planet Mars, karena ternyata air pernah melimpah mengalir melintasi Mars dan membentuk kolam, danau, dan samudra dalam. Pertanyaannya, kemana perginya semua air yang berada di Mars?
Jawabannya adalah: tidak kemana-mana. Menurut penelitian dari Caltech dan JPL yang diterbitkan dengan nama "Long-term Drying of Mars Caused by Sequestration of Ocean-scale Volumes of Water in the Crust" di jurnal Science, 16 March 2021, sebagian besar air di Mars sekitar 30 dan 99 persen, terperangkap di dalam mineral pada kerak planet.
Ilustrasi Keringnya Planet Mars (Sumber, Wikipedia) |
Penelitian tersebut menentang teori yang lebih dulu tersebar dan terkenal bahwa air planet Mars menguap dan menghilang ke luar angkasa.
Tim Caltech dan JPL menemukan bahwa sekitar empat miliar tahun yang lalu, Mars merupakan rumah bagi air yang cukup untuk menutupi seluruh planet tersebut di lautan dengan kedalaman sekitar 100 hingga 1.500 meter.
Lautan tersebut memiliki volume kira-kira setara dengan setengah dari samudra Atlantik yang ada di planet Bumi.
Tetapi, satu miliar tahun kemudian, planet mengalami kekeringan sampai dengan sekering seperti sekarang.
Sebelumnya, para ilmuwan yang berusaha menjelaskan apa yang terjadi pada air di Mars menunjukkan bahwa air menghilang ke luar angkasa karena gravitasi Mars yang rendah. Meskipun sebagian air memang meninggalkan Mars dengan cara seperti itu, namun nampaknya hal tersebut bukanlah penyebab menghilangnya seluruh air di Mars.
Dalam studi, peneliti mengamati jumlah air di Mars dari waktu ke waktu dalam semua bentuknya yakni uap, cairan, dan es serta komposisi kimiawi atmosfer dan kerak planet Mars saat ini melalui analisis meteorit serta menggunakan data yang disediakan oleh rover Mars Perseverence and orbiters. Peneliti juga melihat secara khusus pada rasio deuterium ke hidrogen (D/H).
Seperti diketahui, air terdiri dari hidrogen dan oksigen: H2O. Namun, tidak semua atom hidrogen diciptakan sama.
Ada dua isotop hidrogen yang stabil. Sebagian besar atom hidrogen hanya memiliki satu proton di dalam inti atom, sementara sebagian kecil (sekitar 0,02 persen) ada sebagai deuterium, atau yang disebut hidrogen "berat", yang memiliki proton dan neutron di dalam nukleus.
Hidrogen yang lebih ringan (juga dikenal sebagai protium) memiliki waktu yang lebih mudah untuk melepaskan diri dari gravitasi planet ke luar angkasa daripada rekannya yang lebih berat.
Karena itu, lepasnya air planet melalui atmosfer akan meninggalkan tanda pada rasio deuterium terhadap hidrogen di atmosfer planet. Yang artinya akan ada sebagian besar Hidrogen yang memiliki deuterium yang tertinggal pada planet tersebut.
Baca juga:
- Komunikasi dengan Orang Tidur, Memang Bisa?
- Apa Jadinya Bumi Jika Galaksi Bima Sakti dan Andromeda Bertabrakan
- Teleskop Hubble Tangkap Momen Bersatunya 6 Galaxy
Studi tersebut menyebutkan bahwa kombinasi dari dua mekanisme yaitu masih adanya air di Mars dan air menguap ke atmosfer dapat menjelaskan sinyal deuterium-ke-hidrogen yang teramati di dalam atmosfer Mars.
Ketika air berinteraksi dengan batuan, pelapukan kimiawi membentuk lempung dan mineral hidro lainnya yang mengandung air sebagai bagian dari struktur mineralnya. Proses ini terjadi di Bumi dan juga di Mars.
Karena Bumi aktif secara tektonik, kerak tua terus mencair ke dalam mantel dan membentuk kerak baru di batas lempeng, mendaur ulang air dan molekul lain kembali ke atmosfer melalui proses vulkanisme.
Kondisi daur ulang lempeng ini berbeda dengan Mars, sebagian besar lempeng tidak aktif secara tektonik, sehingga "pengeringan" permukaan bersifat permanen. Penelitian, yang mengandalkan data dari meteorit, teleskop, pengamatan satelit, dan sampel yang dianalisis oleh Rover di Mars, menggambarkan pentingnya memiliki berbagai cara untuk menyelidiki lebih lanjut terkait planet merah tersebut.