Kita sudah sama-sama mengetahui bahwa akibat pandemi Covid-19, perubahan total terjadi pada kehidupan sehari-hari umat manusia. Khususnya terutama yang tinggal di kota-kota besar yang memiliki akses listrik dan internet memadai.
Berkat pandemi, para pelajar sampai pekerja melakukan berbagai aktivitasnya dari rumah, dan dalam durasi yang jauh lebih panjang dari sebelumnya. Demikian pula terhadap penggunaan perangkat komputasi mulai dari laptop, komputer desktop ataupun tablet dan smartphone.
Seperti diketahui, penggunaan berlebihan atas perangkat-perangkat ini dapat menimbulkan sindrom yang disebut dengan CVS atau Computer Vision Syndrom atau juga Digital Eye Strain (DES). CVS ini merupakan keluhan atau ketidaknyamanan mata yang disebabkan oleh penggunaan alat VDT (Visual Display Terminal), atau singkatnya, panel layar.
Dikutip dari Republika, menurut Dr. Nia Ariasti, seorang dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII), sebelum ini, DVS paling umum diderita oleh orang-orang pekerja kantoran. Namun kini penderitanya meluas.
Adapun faktor yang mempengaruhi atau memicu CVS adalah durasi pemakaian dan posisi yang kurang sesuai antara mata dengan layar.
Dari sebua studi yang dilakukan oleh Vision Council di Amerika Serikat, terdapat setidaknya 60 persen pria dan 65 persen Wanita di negeri tersebut menderita CVS. Kondisi yang terjadi adalah, 80 persen orang dewasa di sana menggunakan gadget setidaknya dalam durasi 2 jam setiap harinya.
Jika seseorang menggunakan gadget secara terus menerus, Nia menambahkan, apalagi kalau gadgetnya ada lebih dari satu, maka risiko terkena CVS 75 persen lebih tinggi.
Perangkat VDT ini berbahaya karena bisa mengeluarkan radiasi infra merah dan visible spectrum of light.
“Gejala VDT juga bisa dikenali bila didapati gejala mulai dari penglihatan kabur atau penglihatan ganda, nyeri mata, mata lelah dan mata kering,” sebut Nia. “Keluhan lainnya yang dilaporkan antara lain seperti nyeri di bahu, nyeri leher, kaku leher, hingga nyeri punggung,” tambahnya.
Apalagi bagi orang dewasa usia lebih dari 45 tahun dengan presbiopi (kondisi ketika mata secara bertahap kehilangan kemampuan untuk fokus melihat objek jarak dekat), gejalanya bisa lebih parah.
Tidak cuma menimbulkan gangguan mata, CVS bisa menurunkan kualitas tidur. Sinar biru yang dipancarkan VDT mengganggu pengaturan hormon tidur, yakni melatonin.
Inilah mengapa alasan sejumlah produsen elektronik dengna fitur layar kini menggencarkan teknologi pengurangan pancaran sinar biru (blue light filter) pada produk-produknya. Untuk laptop, yang paling signifikan terdengar adalah teknologi Asus OLED.
Baca juga:
- Cara Belajar Optimal, Istirahat Sejenak Supaya Pintar
- Peneliti Temukan Masker yang Bisa nyala Kalau Penggunanya Positif
- Cara Cek dan Download Sertifikat Vaksin di Pedulilindungi
Terkait pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang diberlakukan hampir pada seluruh tingkatan sekolah, mau tidak mau anak menggunakan gawai lebih dari waktu seharusnya. Nia menilai, anak usia 2-5 tahun per hari sebaiknya hanya menghabiskan screen time maksimal satu jam.
"Anak dengan screen time lebih dari dua jam per hari, lebih sering terkena ADHD (gangguan emosi)," ujar Nia.
Nia memberi saran guna menurunkan resiko terkena VCS selama pandemi. Penggunaan timer dianjurkan saat kita tengah beraktivitas menggunakan gawai. Tiap 20 menit melihat gawai harus melihat ke luar jendela obyek bebas guna membuat mata santai.
"Hindari penggunaan gawai di bawah sinar terik matahari. Sering kali saat fokus mengerjakan sesuatu seseorang akan lupa untuk mengedipkan mata. Mengedipkan mata akan membuat mata tidak kering dan melindungi mata dari debu," kata Nia.
Tuh guys. Dalam sehari, berapa jam kah mata Anda menatap layar? Kalau tidak terpaksa, kurang-kurangi ya!