Pernahkah sobat Tekno mendengar istilah Blue carbon atau karbon biru? Nah, menurut National Ocean Service, blue carbon sebenarnya merupakan istilah untuk karbon yang ditangkap oleh ekosistem laut dan pesisir dunia.
Lalu mengapa blue carbon ini penting? Dan apa perannya dalam mengatasi perubahan iklim? Menurut sejumlah studi, blue carbon ini erat kaitannya dengan siklus karbon yang beregulasi di Bumi. Dan saat ini, urgensinya adalah, para peneliti ingin menyeimbangkan buangan karbon yang ada di lautan.
Dalam studinya, para ilmuwan mengeksplorasi blue carbon dengan dua cara utama.
Pertama, mereka ingin mengukur dan melestarikan karbon yang sudah
tersimpan di lautan dan lahan basah pesisir, seperti rawa-rawa dan hutan
bakau.
Kedua, mereka ingin tahu bagaimana kita dapat memanfaatkan
ekosistem tersebut untuk memitigasi perubahan iklim.
Polusi alga Sargassum di lautan lepas |
Dorothy Peteet, ilmuwan peneliti senior di NASA/Goddard Institute for Space Studies dan asisten profesor di Departemen Ilmu Bumi dan Lingkungan Universitas Columbia, Amerika Serikat mencoba memecahkan teka-teki pertama.
Dia dan rekan-rekannya
dari Observatorium Bumi Lamont-Doherty sedang mengukur kandungan karbon
dalam sedimen rawa-rawa setempat. Mereka menilai bahwa lahan basah
menyimpan antara 20% dan
30% karbon dunia, yang sangat mengesankan dibandingkan dengan permukaan
tanah yang relatif kecil yang ditutupinya.
Diketahui, lahan basah seperti
rawa ternyata menyimpan sekitar 50 kali lebih banyak karbon daripada
hutan terestrial. Padahal luasnya relatif kecil.
Banyak rencana yang diusulkan dalam dunia kelautan untuk menghilangkan karbon dari atmosfer. Dimulai dengan menanam rumput lautdan kemudian memanennya. Selain itu kita dapat mengonsumsi atau menggunakan kembali rumput laut. Atau kita bisa menenggelamkan.
Melihat ke atas sedimen, Subramaniam, seorang profesor riset dan ahli kelautan di Lamont Doherty Earth Observatory, Columbia Climate School, berfokus pada organisme yang hidup di ekosistem ini dan kemampuannya menyimpan karbon.
“Ada banyak karbon yang tersimpan dalam hutan basah, lamun, dan mikroalga di lautan dan tumbuh di sepanjang pantai. Jadi jika Anda ingin memastikan bahwa setiap pembangunan atau bangunan pesisir atau aktivitas manusia, seperti tambak udang atau budidaya, jangan melepaskan karbon ini ke atmosfer. Lebih baik ditenggelamkan saja," ucapnya.
Dengan menenggelamkan rumput laut jauh di dalam lautan setidaknya selama 100 tahun, karbon yang ditangkap oleh fotosintesis tidak kembali beredar di atmosfer. Idealnya, selama satu abad ini, kita juga telah membeli waktu bagi para ilmuwan dan insinyur untuk menghasilkan teknologi baru dan lebih ramah lingkungan.
Untuk salah satu proyeknya saat ini, Subramaniam mengusulkan sebuah "solusi berbasis alam" demi penghilangan karbon yang menggunakan makroalga Sargassum sebagai objeknya dan menenggelamkannya hingga 2.000 meter di bawah permukaan laut.
Sargassum adalah makroalga pelagis, yang berarti menghabiskan seluruh siklus hidupnya di permukaan laut dan terlihat oleh mata.
Sargasum ini telah dikenali selama berabad-abad. Namun hanya dalam 10 atau 20 tahun terakhir, ada populasi baru yang tumbuh lebih dekat ke garis khatulistiwa, kata Subramaniam. "Mereka menyebutnya 'Sabuk Sargassum Besar', yang pada dasarnya membentang dari pantai Afrika Barat sampai ke pantai Meksiko melalui teluk Meksiko di Karibia. Adanya Alga ini merupakan gangguan besar."
Rumput laut ini menumpuk di pantai-pantai di kepulauan Windward di Karibia dan menghancurkan ekonomi penduduk setempat, yang sebagian besar bergantung pada pariwisata. Sedangkan kita tidak bisa begitu saja membuangnya dan kita juga tidak bisa menguburnya karena jumlahnya sangat banyak.
Ilustrasi proyek Subramaniam menggunakan penginderaan jauh canggih, pemodelan, dan robot laut untuk menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer sekaligus mengurangi kerugian ekonomi dan ekologi yang disebabkan oleh Sargassum.
Serangkaian platform digerakan untuk menarik jaring di belakang mereka sekitar 15 atau 20 mil lepas pantai untuk menangkap Sargassum. Setelah jaring penuh dengan makroalga ini, ada pengikat di jaring yang dirancang untuk menutupnya. Pengikat memiliki pemberat yang terpasang, yang kemudian akan menenggelamkan Sargassum ini hingga 2.000 meter.
"Ada sekitar 1 juta metrik ton Karbon dalam populasi 'baru' Sargassum ini," kata Subramaniam. Sebagai perkiraan konservatif, dia yakin mereka dapat menyerap setidaknya 10% dari karbon ini menggunakan teknologi yang diusulkan, atau sekitar 100.000 metrik ton per tahun. "Untuk konteksnya, fasilitas Orca di Islandia, pabrik penangkap karbon terbesar, memiliki kapasitas untuk menarik 4.000 metrik ton per tahun dari atmosfer."
Baca juga:
- Bisakah Kita Terinfeksi Jamur Cordyceps Seperti di The Last of Us?
- Kadar Oksigen di Atmosfer Pengaruhi Kecepatan Evolusi Mahluk Hidup
- Racun Jamur Ini Ternyata Bikin Kolitis Memburuk
Tentu saja, salah satu poin penting untuk dipertimbangkan saat mengusulkan metode seperti ini adalah analisis siklus hidup karbon. Anda tidak bisa mengeluarkan 100 kilogram karbon untuk menenggelamkan 10 kilogram karbon, misalnya. Kita perlu memastikan jumlah karbon yang kita keluarkan dalam penenggelaman tidak lebih dari karbon yang kita tenggelamkan.
Untuk itu, para peneliti berharap penggunaan penginderaan jauh dan robot serta kecerdasan buatan akan memaksimalkan efisiensi.
Saat ini, para peneliti sedang mengkaji untuk menerapkan blue carbon di lautan lepas. Hal ini disebabkan karena perundang-undangan kelautan yang berlaku secara Internasional dan regulasi negara lain yang tidak bisa sembarangan diterabas meskipun tujuan para peneliti ini baik.