Dalam beberapa tahun terakhir, Starlink telah dikenal luas sebagai pemain utama dalam bisnis satelit. Namun, perusahaan yang dimotori oleh Elon Musk ini tidak berhenti di sana. Mereka kini sedang memperluas cakupan bisnis dengan merambah layanan seluler bernama Direct to Cell.
Yang menarik, jika layanan ini masuk ke Indonesia, dampaknya bisa signifikan bagi industri telekomunikasi dalam negeri. Apa saja?
Mengubah Lanskap Telekomunikasi
Starlink Direct to Cell adalah layanan yang menawarkan konektivitas seluler ke ponsel LTE menggunakan satelit. Layanan ini dijadwalkan mulai tersedia pada 2024, meskipun pada tahap awal hanya akan menawarkan layanan SMS. Musk menargetkan layanan suara, data, dan IoT untuk tersedia pada 2025. Kehadiran layanan ini mengundang kekhawatiran dari berbagai pihak di Indonesia.
Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institute, menyuarakan kekhawatiran bahwa pemerintah harus berpihak kepada pelaku usaha yang sudah ada. "Tujuan regulator mewajibkan kerja sama dengan operator lokal agar industri telekomunikasi yang sudah ada tidak mati," ujarnya dalam sebuah keterangan tertulis.
Tantangan Bagi Operator Lokal
Regulator diharapkan memahami teknologi dan rencana besar Elon Musk yang ingin menghubungkan satelit ke telepon selular. Potensi pelanggan seluler Indonesia beralih ke Starlink jika layanan ini sudah tersedia sangat besar. Heru memperingatkan, "Jika Starlink beroperasi langsung, akan membuat operator telekomunikasi domestik mati. Tak bisa giant tech seperti Starlink diadu dengan pelaku usaha telekomunikasi domestik."
Heru menambahkan bahwa mayoritas pelaku industri telekomunikasi di Indonesia adalah UMKM. "Pasti mereka akan mati," tuturnya, mengingatkan bahwa persaingan tidak sehat dengan raksasa teknologi bisa berujung pada kolapsnya industri lokal.
Sorotan dan Tindakan
Kehadiran Starlink di pasar ritel internet Indonesia terus menjadi sorotan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bahkan turun tangan terkait dugaan predatory pricing dan monopoli yang dilakukan Starlink.
Forum Group Discussion (FGD) yang digelar pada 29 Mei lalu melibatkan berbagai pihak, termasuk Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), PT Starlink Services Indonesia, akademisi, dan KPPU. Sayangnya, perwakilan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tidak hadir.
Heru menekankan pentingnya melihat persaingan usaha di industri digital dan telekomunikasi dari perspektif jangka panjang. "Masa kita harus menunggu pelaku usaha telekomunikasi nasional mati terlebih dahulu dan baru menyatakan telah terjadi predatory pricing dan perilaku monopoli," pungkasnya.
Masa Depan Industri Telekomunikasi Indonesia
Dengan hadirnya Starlink Direct to Cell, masa depan industri telekomunikasi Indonesia tampaknya berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, inovasi dan kemajuan teknologi satelit dapat membawa Indonesia ke era konektivitas yang lebih maju. Di sisi lain, tanpa regulasi dan kebijakan yang tepat, keberadaan pemain besar seperti Starlink bisa mematikan operator lokal yang sudah berjuang keras membangun infrastruktur telekomunikasi di Indonesia.
Pertanyaan besar yang harus dijawab adalah bagaimana memastikan bahwa inovasi ini bisa berjalan berdampingan dengan kelangsungan industri telekomunikasi lokal. Keberpihakan pemerintah dan kebijakan yang melindungi pelaku usaha lokal adalah kunci agar industri ini tetap hidup dan berkembang di tengah persaingan global yang semakin ketat.