Industri game mengalami perubahan besar. Pengejaran grafik ultra-realistis yang dilakukan oleh studio besar kini menghadapi tantangan berupa hasil yang tidak sebanding dengan biaya dan dampaknya pada tenaga kerja.
Menurut The New York Times, gelombang PHK massal telah melanda industri ini, dengan lebih dari 20.000 pekerjaan hilang dalam dua tahun terakhir.
Ironisnya, generasi pemain muda seperti gen-z saat ini justru lebih tertarik pada game dengan grafik sederhana namun punya fitur sosial yang kuat. Game seperti Minecraft, Roblox, dan Fortnite terus mendominasi pasar, membuktikan bahwa daya tarik game tidak selalu bergantung pada visual yang realistis.
Sebagai contoh, Sony's Insomniac Games menghabiskan $300 juta untuk mengembangkan Marvel's Spider-Man 2, tiga kali lipat anggaran game pendahulunya. Namun, setelah perilisan, studio ini menghadapi PHK, sejalan dengan pengurangan tenaga kerja sebesar 900 orang oleh Sony pada Februari lalu.
Sebaliknya, game seperti Genshin Impact dari Hoyoverse menjadi contoh sukses dengan pendekatan berbeda. Dengan grafik yang tidak terlalu memaksakan realisme, game ini menghasilkan sekitar $2 miliar per tahun melalui pembaruan konten yang konsisten, bukan teknologi visual mutakhir.
Perubahan ini memaksa banyak studio untuk mengevaluasi ulang strategi mereka. Warner Bros. Discovery kehilangan $200 juta karena kegagalan Suicide Squad: Kill the Justice League, sementara Sony menutup studio Concord mereka tidak lama setelah peluncuran.
Untuk mengatasi tantangan biaya tinggi pengembangan grafik, beberapa pelaku industri melihat kecerdasan buatan (AI) sebagai solusi potensial. Teknologi ini dapat membantu menekan biaya pengembangan, terutama dalam game olahraga yang memerlukan detail visual yang kompleks.
Perubahan selera pemain menunjukkan bahwa pengalaman sosial dan gameplay yang menyenangkan kini lebih dihargai daripada visual yang memukau. Dengan lanskap yang terus berubah, studio game harus beradaptasi agar tetap relevan di industri yang kompetitif ini.