Krisis Lingkungan Global, Bisa Sebabkan Kepunahan Masal Pada 2050

RN Dahlan

Tahukah Anda? Selain hari Bumi yang dirayakan pada tanggal 22 April ternyata ada juga hari Internasinal Untuk Keberagaman Hayati yang diperingati pada tanggal 22 Mei. 

Peringatan tersebut digalakkan untuk mengangkat isu-isu yang tentunya berhubungan dengan keanekaragaman hayati. Hari Internasinal Untuk Keberagaman Hayati ini sendiri digalakkan oleh PBB atau Perserikatan Bangsa-Bangsa.


Topik yang diangkat pun beragam. Mulai dari hutan, kekeringan, perubahan iklim sampai dengan ketahanan pangan dan pembangunan berkelanjutan. Banyak tema yang diusun setiap tahunnya. Tema tahun 2021 ini adalah “We’re part of the solution”  atau jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia “Kami adalah bagian dari solusi.”

Sumber: Mongabay

Slogan tersebut mencerminkan jika segala jenis perubahan transformatif yang diperlukan untuk mengamankan sistem pendukung kehidupan alami di Bumi akan mengubah semua kehidupan kita.


Skala dan ruang lingkup krisis keanekaragaman hayati dan krisis iklim sejenisnya begitu besar sehingga mengatasinya membutuhkan banyak penyesuaian. Terutama di tingkat masyarakat dan industri yang tentunya berhubungan dengan sektor ekonomi.

Sebagai bagian dari solusi, kita perlu mewujudkan perubahan ini dan menuntut pergeseran struktural seismik dari mereka yang memiliki kekuasaan. 

Jika hal ini tidak juga digalakkan, segala tindak-tanduk kita yang mengancam lingkungan akan mengancam juga jutaan spesies dalam kepunahan. Tidak terkecuali peradaban manusia itu sendiri.

Asal tahu saja, saat ini alam sedang dalam kondisi yang merosot. Seperti yang dijelaskan oleh Robert Watson, mantan ketua Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services di Amerika Serikat, kesehatan ekosistem tempat kita dan semua spesies lain memburuk lebih cepat dari sebelumnya. 

Datanya pun mengkhawatirkan. Tujuh puluh lima persen wilayah daratan global telah diubah oleh aktivitas manusia. 

Lebih dari 85 persen lahan basah telah hilang selama 300 tahun terakhir dan hilangnya lahan basah saat ini tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan hilangnya hutan. 

Sebagai informasi, lahan basah ini sendiri terdiri dari lahan gambut, rawa dan paya. Di Indonesia, rawa dan gambut juga sudah banyak beralih fungsi dan menghilang lho.

Kerusakan yang disebabkan aktivitas manusia ini juga sangat fatal. Bayangkan, tingkat kepunahan spesies global puluhan hingga ratusan kali lebih tinggi daripada rata-rata selama 10 juta tahun terakhir dan terus meningkat. 

Saat ini, lebih dari 500.000 spesies darat memiliki habitat yang tidak memadai untuk kelangsungan hidup jangka panjang. 

Lebih dari 40 persen amfibi, seperti katak dan salamander, terancam punah karena air dan lingkungan lembab yang dibutuhkan untuk bertahan hidup sudah semakin menghilang. 

Sepertiga dari stok ikan laut dipanen secara berlebihan dan 60 persen dipanen di ambang keberlanjutan. Dan hampir semua terumbu karang air hangat menghadapi ancaman yang signifikan serta kepunahan lokal, dengan semua terumbu karang diproyeksikan akan terancam punah pada tahun 2050.

Jangan salah, bukan cuma satwa liar yang nantinya akan menderita, tetapi manusia juga. 

Anda tahu kan, kita bergantung pada ekosistem yang berfungsi tinggi, berkembang, dan berlimpah dengan satwa liar untuk menghasilkan fondasi penting bagi kehidupan manusia dan masyarakat. Mulai dari udara bersih, air bersih, keamanan pangan, penyerbukan tanaman, dan pengendalian banjir.


Baca juga:

Degradasi lahan juga telah mengurangi produktivitas tanaman. Misalnya ketika penyerbuk alami seperti lebah hilang, tentunya manusia harus mengeluarkan uang untuk melakukan penyerbukan buatan demi menghasilkan buah, misalnya. 

Tapi jika teknologi berkembang baik di suatu tempat, di tempat lain, lebih dari lima ratus juta orang menghadapi kerawanan pangan dan ratusan juta orang menghadapi peningkatan risiko banjir dan angin topan karena hilangnya habitat dan perlindungan pesisir.

Empat puluh persen populasi global tidak memiliki akses ke air minum yang bersih dan aman, sementara fasilitas industri membuang 300-400 juta ton logam berat, pelarut, lumpur beracun, dan limbah lainnya ke perairan dunia setiap tahun. 

Secara keseluruhan, satu dari lima negara berisiko runtuh ekosistemnya karena penurunan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lainnya.

Saat ini, manusia masih memiliki waktu lebih dari 40 tahun untuk membangun pemahaman dan perubahan sebelum terlambat. Perubahan transformatif yang kita lakukan dan tentunya dikawal oleh pihak yang lebih memiliki kekuasaan tentunya akan lebih berpengaruh terhadap lingkungan hidup.

Jangan sampai ada segelintir perusahaan dan elit kaya yang seenaknya mengubah lahan alami dan wilayah air tawar untuk penggunaan lain seperti pertambangan dan lahan sawit, memanen ikan dan satwa liar secara tidak bertanggung jawab, menebang hutan, dan mencemari alam. 

Jika itu jalan yang kita ambil, kita harus beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan kepunahan spesies besar-besaran dan penderitaan manusia dan menerima bahwa kita akan meneruskan dunia ke generasi mendatang di mana ekosistem runtuh dan ratusan juta orang berjuang untuk bertahan hidup.


Menjalin hubungan baru dengan alam bukanlah pekerjaan mudah karena untuk melakukannya kita harus mengubah cara kita hidup. Tidak ada tindakan mudah yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati. 

Sebaliknya, kita harus membuka diri untuk mengubah cara kita menjalani hidup dan merangkul banyak orang untuk secara kolektif menghancurkan sistem dan struktur di tempat yang terus mendorong pemusnahan alam. Kita semua adalah bagian dari solusi.